Update Artikel Terbaru
Showing posts with label ESEI LITERASI. Show all posts
Showing posts with label ESEI LITERASI. Show all posts

Mabulir, Budaya Baca, dan Kita

Written By Agus M. Irkham on 14 Sept 2011 | 12:52


:: agus m. irkham

“Minjami kok buku, mana bisa bikin kenyang. Minjami itu mbok yao uang, kan bisa untuk makan.” Demikian ucap Dauzan Farook menirukan komentar orang-orang ketika pertama kali ditawari pinjaman buku. Mbah Dauzan, demikian ia karib disapa adalah pendiri perpustakaan keliling Mabulir di Kauman, Yogyakarta. Mabulir singkatan dari Majalah Buku Bergilir. Mbah Dauzan, meskipun telah berusia 80 tahun lewat, tetap bersemangat menyebarkan virus membaca. Bahkan hingga hari-hari terakhir sebelum malaikat maut menjemputnya (6/10/2007). Mabulir dijalankan melalui—sesuai dengan namanya—sistem multilevel reading. Sistem itu dipilih lantaran menurutnya minat baca masyarakat kita tergolong rendah, sehingga masih harus disuapi.

Tidak main-main, lebih dari 100 kelompok baca telah ia bentuk. Tiap kelompok baca beranggota 4 - 20 orang. Tiap kelompok mendapat satu kardus buku. Tiap 2 minggu sekali, isi kardus diganti dengan buku yang baru. Tidak ada syarat apapun untuk menjadi anggota kelompok baca perpustakaan Mabulir. Jangankan uang, foto kopi KTP pun tidak. Tak soal jika buku yang ia pinjamkan hilang.


"Mengelola perpustakaan keliling adalah bisnis dengan keuntungan abstrak. Landasannya kepercayaan, sehingga aturannya tidak perlu birokratis. Dagangan Tuhan. Tidak perlu ada KTP atau apa. Sesama manusia saudara, harus bisa dipercaya," ujar mbah Dauzan dalam sebuah perbincangan dengan Ahmad Arif (2004). "Risiko mati saja berani, kok cuma kehilangan buku," tambahnya.

Tak dapat disangkal, mbah Dauzan menjadi sosok yang menginspirasi dunia literasi di Indonesia. Perjuangan tak kenal lelah selama 25 tahun memasarkan budaya membaca mengantarkannya menerima beberapa penghargaan seperti Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional tahun 2005, Paramadina Award 2005 dan Lifetime Achievement Award dari Sabre Foundation, sebuah NGO di Massachusetts, Cambridge, Reksa Pustaka Bhaktitama dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X. Dan pada April 2007 di Jakarta saat perhelatan World Book Day Indonesia, mbah Dauzan mendapat gelar sebagai Pejuang Literasi Indonesia.


Keberadaan Mabulir memahamkan kita pada beberapa kenyataan: pertama, minat baca masyarakat masih rendah. Memang minat baca terkait dengan kesadaran masyarakat terhadap arti penting informasi, sehingga tidak bisa dibanding-bandingkan dengan negara lain. Tapi meskipun begitu, tetap saja secara faktual minat baca masyarakat kita masih rendah.

Beberapa besaran yang dapat dijadikan bukti atas simpulan itu: akses masyarakat terhadap koran hanya 2,8 persen. Rasio jumlah penduduk dengan surat kabar hanya 1 : 43. Jumlah judul buku sastra yang dibaca siswa SMA setiap tahunnya 0 (nol) judul. Sekolah Dasar yang memiliki perpustakaan hanya sekitar 1 persen, sedangkan SLTP dan SLTA sekitar 54 persen. Dan menurut sebuah survei pada tahun 2003, minat baca masyarakat Indonesia berada di urutan ke-3 dari bawah. Survei yang diprakarsai UNDP itu melibatkan 41 negara.

Tentu, harapan memeroleh kemajuan akan mustahil, selama minat baca masyarakat masih rendah. Terlebih sekarang ini era informasi. Jalan yang memberikan kesempatan melakukan mobilitas vertikal—misalnya dari keluarga pra sejahtera ke agak sejahtera, lantas beralih menuju sejahtera—nyaris semuanya bergayut erat dengan kemampuan keberaksaraan (literasi). Satu diantaranya berupa kegemaran membaca (buku).


Kepergian mbah Dauzan mewasiatkan kepada kita agar tidak berhenti memasarkan budaya baca kepada masyarakat. Terutama masyarakat tingkat akar rumput, yang merupakan irisan terbesar dari struktur bangsa ini.

Kedua, kesadaran masyarakat terhadap manfaat membaca masih rendah. Semuanya masih diukur dengan perolehan ekonomi (uang). Jika dengan membaca tidak mendatangkan materi, ya membaca nanti dulu. Jika ada hasilnya, dan itu berwujud fisik (tangible), dapat dinikmati seketika itu juga, baru mau membaca. Komentar orang yang ditirukan mbah Dauzan di awal tulisan ini bisa menjadi sedikit bukti.

Kondisi ini secara tidak langsung memberikan rekomendasi kepada kita, khususnya para pegiat literasi untuk “membumikan” gerakan membaca. Aktivitas membaca secara langsung harus berhubungan dengan kegiatan keseharian masyarakat. Terutama kegiatan berekonomi. Pada titik ini, memfungsikan taman baca sebagai rumah belajar masyarakat menjadi jalan yang tak dapat ditawar lagi.

Seperti yang telah dilakukan Tobucil & Klabs di Bandung dan Rumah Belajar Bergema di Wonosobo. Keduanya memosisikan buku sebagai tools atau sarana mengembangkan keterampilan, hobi dan profesi anggota/pengunjungnya. Dari mendisain kartu ucapan hingga merajut. Dari klinik pranata acara hingga pelatihan membuat telur asin.

Jadi tanpa ada perubahan strategi pemasaran, kampanye budaya baca hanya akan dicibir, diremehkan, tidak dianggap penting, dan memunculkan sikap fatalis di masyarakat. Karena yang ditawarkan ke mereka (buku) jauh panggang dari api dengan kondisi keseharian yang mereka akrabi. Mudahnya kalau dulu ada pameo di lingkup para aktivis pergerakan mahasiswa: makan tidak makan yang penting baca buku, maka sekarang harus dibalik: baca buku biar bisa makan.


Ketiga, masih sangat diperlukan inisiatif gerakan/kampanye membaca buku yang tumbuh dari dalam masyarakat sendiri dengan sistem gethok tular (multilevel reading). Sistem yang digagas dan sudah diuji cobakan mbah Dauzan melalui Mabulir selama 25 tahun. Dengan sistem jemput bola memungkinkan orang yang semula tidak butuh buku jadi butuh. Pemasar budaya baca menjadi semacam salesman-nya.

Modusnya kira-kira seperti ini: menyemangati satu orang untuk membentuk kelompok baca. Setelah terbentuk dan jalan, pada jangka waktu tertentu para anggotanya didorong untuk membentuk kelompok baca lagi dengan merekrut anggota yang berbeda. Demikian seterusnya.

Terakhir, besar harapan saya, kepergian mbah Dauzan hampir genap 4 tahun lalu itu bukan berarti kematian pula buat Mabulir, satu-satunya “anak ideologis” simbah. Baik dalam arti fisik maupun sistem.[]

TBM Generasi Ketiga

Written By Agus M. Irkham on 13 Apr 2011 | 15:48



:: agus m. irkham

”Yang utama sebenarnya bukan membaca, melainkan mengerti makna sebuah buku kemudian didayagunakan untuk satu langkah karsa dan karya nyata produktif dan konstruktif.”

Jaya Suprana, Buku: Sebuah Kontemplasi (2007)


Paling kurang ada dua lema atau entry yang telebih dahulu harus saya bicarakan. Sebelum bercakap lebih jauh tentang tema implementasi pendekatan empati mitra pada pengembangan budaya baca. Dua masukan tersebut adalah budaya baca dan empati mitra.

Baiklah, saya mulai terlebih dahulu dengan entry pertama: budaya baca. Dalam konteks tujuan kampanye membaca (dan menulis), frase budaya baca memiliki arti yang lebih tinggi. Jika dibandingkan dengan dua frase lainnya, yakni kemampuan membaca, dan minat membaca. Kemampuan membaca berpusat pada ikhtiar membuat orang yang sebelumnya buta aksara menjadi melek aksara. Lazim disebut dengan keaksaraan teknis. Pamrihnya masyarakat memiliki kemampuan membaca secara alfabetis (literasi teknis). Ini menjadi tahapan pertama, dasar bagi kampanye membaca selanjutnya.

Generasi pertama
Kaitannya dengan peran Taman Bacaan Masyarakat (TBM), program gelombang pertama kampanye membaca ini adalah berupa aktivitas membaca, meminjam, dan mengembalikan buku. Itu saja. Untuk memudahkan pengidentifikasian, TBM berciri demikian bolehlah kita sebut sebagai TBM generasi pertama.

Sampai dengan saat ini saya belum mengantongi data sahih tentang seberapa besar TBM generasi pertama ini. Tapi dugaan sementara saya, TBM jenis ini menjadi irisan terbesar.

Itu kemampuan membaca. Bagaimana dengan minat membaca?

Minat membaca berarti masyarakat yang telah mampu membaca secara teknis, memiliki niat pula untuk mempraktikkan kemampuannya itu. Rasa makna minat baca bersifat datar, sekadar menggambarkan tingkat ketertarikan seseorang (bangsa) terhadap teks. Tidak harus buku. Yang penting teks, medianya bisa macam-macam: buku, koran, majalah, dan lain sebagainya.

Bidikan gerakan peningkatan minat baca lebih tertuju pada dorongan atau motivasi membaca. Jadi masih bersifat potensi. Maka varian kampanye yang dilancarkan pada fase ini adalah mengentalkan manfaat kegiatan membaca. Pada titik ini, muncul konsep keaksaraan (literasi) fungsional.

Keaksaraan fungsional dapat dimengerti sebagai kemampuan seseorang mengenal aksara (huruf) dan memanfaatkannya untuk meningkatkan perolehan materi atau pendapatan (ekonomi). Dalam bingkai literasi fungsional pengetahuan tentang sesuatu (declarative knowledge) itu belum cukup. Masyarakat juga harus diberi bekal tentang melakukan sesuatu (procedural knowledge).

Mengapa harus membaca? Ada (rahasia) apa di balik sebuah buku atau teks? Seberapa besar sumbangan aktivitas membaca buat perbaikan hidup (terutama ekonomi) pembacanya? Adalah beberapa pertanyaan filosofis yang menjadi titik pijak pembuatan program aksi peningkatan minat baca. Jadi lebih berpusat pada kegiatan-kegiatan yang bersifat kognitif dan afektif.

Buku sebagai rujukan dan mentor
Jika pengertian minat baca dipertalikan dengan aktivitas dan keberadaan TBM, maka pada tahapan kedua kampanye ini akan mendorong TBM untuk memasuki generasi kedua. Wujud aktual kegiatannya adalah berupa program turunan perbukuan. Jika buku kita tandai dengan simbol huruf A maka program TBM generasi kedua adalah A’ (A aksen). Bentuknya mulai dari pelatihan kepenulisan, jumpa penulis, penandatangan buku, peluncuran buku, diskusi minat baca, bedah buku, serta keaksaraan wirausaha. Yaitu berupa kegiatan usaha produktif (berekonomi) yang menjadikan buku (teks) sebagai rujukan sekaligus mentor.

Untuk lebih dapat memberikan gambaran tentang TBM generasi kedua ini, saya akan memberikan beberapa contoh nyata. Beberapa di antaranya adalah TBM Bergema, TBM Warung Pasinaon, dan TBM Guyub.

Bergema singkatan dari Bersama geliat masyarakat. Bergema berada di desa Patak Banteng, kecamatan Kejajar, sekitar 27 kilometer sebelah utara kota Wonosobo. Atau hanya sekitar 2 kilometer sebelum komplek Candi Dieng. Terletak persis di lembah Dieng.

Strategi gerakan minat baca yang dilancarkan Bergema adalah dengan menyediakan bahan bacaan yang dapat dijadikan rujukan bertani dan berkebun. Selain itu bekerjasama dengan gabungan kelompok tani, secara periodik Bergema diberi kepercayaan menggulirkan sejumlah dana pinjaman mikro. Cara ini telah berhasil mengikis pelan-pelan praktik ijon, serta menjauhkan petani dari para lintah darat (rentenir).

Setelah Bergema, ada TBM Warung Pasinaon. Pasinaon bermakna tempat belajar. TBM ini berlokasi di Bergaslor, kecamatan Bergas, kabupaten Semarang. Pasinaon menjadikan, terutama, ibu-ibu paruh baya sebagai sasaran utama. Mereka membuat media bernama Koran Pasinaon. Koran Pasinaon terbit sebulan sekali. Sampai dengan edisi 22 April - 21 Mei 2010 ketebalannya sudah mencapai 20 halaman. Padahal di awal terbitnya, sekitar awal 2010, hanya 10 halaman.

Melalui Koran Pasinaon, secara tidak langsung TBM Warung Pasinaon mengabarkan kepada publik luas bahwa salah satu cara untuk mempertahankan sekaligus mengasah kemampuan membaca adalah dengan menulis. Dalam konteks pendidikan keaksaraan, TBM Pasinoan menjadi sarana pembelajaran dan hiburan masyarakat, serta sarana untuk memperoleh dan memproduksi informasi.

Selanjutnya adalah TBM Guyub. Berbeda dengan Bergema dan Pasinoan, TBM yang beralamat di jalan raya Bebengan 221 Boja, Kendal ini memusatkan aktivitasnya pada pendarasan karya sastra. Sasaran pembacanya pun kebanyakan adalah para remaja. Meskipun tidak sedikit pula yang datang ke Guyub adalah mereka yang sudah sepuh dan masih anak-anak.

Meskipun Guyub berlokasi di desa, koleksi bacaan yang dimiliki tak kalah dengan isi koleksi perpustakaan perguruan tinggi. Orhan Pamuk, Satanic Verses anggitan Salman Rushdie, bertumpul buku karya Franz Kafka, dan Garcia Marquez dapat ditemui di Guyub. Daftar karya-karya kelas dunia itu dapat diperpanjang lagi.

Apresiasi karya sastra berupa dramatic reading, bedah buku, pelatihan menulis (puisi) dan pementasan menjadi beberapa strategi Guyub merawat minat baca para remaja. Dengan begitu kegiatan para remaja tidak melulu datang, baca, pinjam, dan mengembalikan buku.

Membaca sebagai gaya hidup
Tujuan ketiga kampanye membaca adalah agar kegiatan membaca (dan menulis) menjadi bagian dari jelujur waktu hidup sehari-hari. Membaca menjadi gaya hidup. Inilah yang disebut dengan budaya baca. Aktivitas membaca sudah menjadi budaya. Menjadi bagian yang lekat dan mengikat kehidupan sehari-hari seseorang. Pendek kata, untuk seseorang yang sudah berbudaya baca, buatnya tiada hari tanpa membaca! Dan rujukan teks yang dibaca biasanya buku.

Nah, karena budaya baca sangat bertalian erat dengan gaya hidup maka modus kampanyenya pun harus menyesuaikan kecenderungan adab keseharian masyarakat. Berbicara tentang gaya hidup, kita tidak bisa lagi menutup mata: bahwa kini ikon aktivitas budaya populer telah menjadi ritual keseharian sebagian besar orang.

Tidak saja menyasar masyarakat golongan tengah dan atas, tapi juga bawah. Deretan ritual paling menonjol adalah: menonton film, gadget, mendengarkan musik, belanja, berjejaring sosial (komunitas, kolaborasi), makan enak (kuliner), animasi, berkerumun, fotografi, nge-game (online), penjelajahan (adventure), nginggris, isu-isu lingkungan (go green), serta plesir (traveling). Dan biasanya dalam pandangan publik (awam), budaya pop ini dimengerti sebagai sesuatu yang secara absolut bertentangan dengan budaya baca.

Dalam perspektif gelombang ketiga—tujuan gerakan membaca—TBM generasi ketiga, keberaksaraan (literasi) tidak semata-mata mencakup persoalan membaca dan menulis (performative), namun bergandengan pula dengan aspek lain, seperti ekonomi, politik, hukum, teknologi (fuctional), serta pendidikan, sejarah, dan gaya hidup (informational-epistic).

Jika buku kita tandai dengan huruf A maka program TBM generasi ketiga adalah A’’ (A aksen dua). Yaitu berupa program kegiatan yang secara langsung tidak ada kaitannya dengan buku atau kegiatan membaca. Tapi sejatinya berhubungan erat. Sekadar contoh—sebagai mana yang terjadi pada beberapa komunitas literasi: Komunitas Historia Indonesia, komunitas IndoHogwarts, FotoStereo-ID, Indo-Startrek, komunitas Jelajah Budaya, ReadingBugs, dan Komunitas Jelajah Budaya.

Bersifat pegas
TBM tidak berada dalam ruang vakum udara. Ia senantiasa berkait jalin dengan kenyataan kehidupan. Oleh karenanya ia musti bersifat pegas pula terhadap perubahan zaman. Salah satu bentuk kelenturan itu adalah kesediaan dan kesigapan TBM untuk mengadopsi pola dan modus ikon budaya pop ke dalam aktivitas program membaca. TBM mau tidak mau, suka tak suka musti masuk ke fase terakhir kampanye membaca—TBM generasi ketiga.

Empati mitra
Sekarang saya ajak Anda memahami lema kedua: empati mitra.
Secara mudah empati mitra dapat dimaknai sebagai strategi komunitas baca (TBM) dalam melaksanakan agenda program kegiatannya secara berkelanjutan, guna mencapai kondisi ideal dengan melibatkan pihak di luar dirinya.

Jadi dalam tilikan empati mitra, kondisi yang dimiliki oleh TBM bukan dianggap sebagai bentuk kekurangan, tapi kelebihan (prestasi). Berbeda dengan pendekatan SWOT—seorang teman menyederhanakan dengan istilah ”kekepan” (kekuatan, kelemahan, kesempatan, dan ancaman)—yang menganggap hidup adalah masalah, empati mitra mereken hidup sebagai nikmat (limpah, berkah). Fokus perhatiannya adalah pada setengah penuh (optimisme), bukan setengah kosong (pesimisme).

Pendekatan empati mitra menganggap TBM lain, lembaga sosial, institusi bisnis maupun pribadi-pribadi yang ada di luar diri TBM menjadi bagian yang turut pula akan membantu memuluskan tujuan TBM. Jadi antar TBM tidak mengenal persaingan. Sebaliknya saling melengkapi. Tidak ada TBM yang melewati persaingan untuk memperoleh identitasnya, ungkap Goenawan Mohammad dengan sedikit revisi.

Langkah teknis empati mitra terdiri atas empat tahapan: 4i. Yaitu informasi, impian, ikhtiar, dan ihsan. Kondisi senyatanya yang dimiliki TBM dianggap sebagai bentuk informasi. Tidak disimpulkan sebagai kekurangan atau cacat yang justru bisa membuat ciut hati. Informasi tersebut digunakan sebagai pijakan untuk menetapkan impian (imaji). Yaitu capaian ideal yang diharapkan.

Ibarat daratan, antara informasi dan impian itu dipisahkan oleh sungai, maka untuk mempertemukan keduanya perlu jembatan. Dalam amatan empati mitra, jembatan tersebut disebut sebagai ikhtiar. Pada langkah yang ketiga inilah, TBM dituntut untuk berani dan lincah menentukan pihak-pihak mana saja yang dapat dijadikan mitra untuk mewujudkan impian itu. Juga bermakna ketekunan TBM mencari titik temu dengan stakeholder dan shareholder yang berbeda itu serta mengeksekusinya melalui beragam inisiatif program sinergis.

Sedangkan tahapan keempat, ihsan, yaitu sebuah kondisi (hasil) yang mengandaikan adanya pertumbuhan antara aktivis (relawan, aktor, pelaku) dengan lembaga yang menaunginya—pada tiap-tiap pihak yang bermitra. Keduanya berkembang berbarengan. Lahir, menjadi sesuatu yang sama sekali baru, jika dibandingkan dengan sebelum pendekatan empati mitra diterapkan. Jadi antara personal building dengan capacity building antar lembaga yang bermitra mekar bersamaan.

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana implementasi empati mitra jika digunakan sebagai pendekatan untuk melakukan pengembangan budaya baca (TBM) yang sudah memasuki gelombang ketiga tersebut? Baik untuk penguatan internal TBM itu sendiri maupun dalam bentuk program keluar (eksternal)—kemasan program literasi.

Salah satu bentuk pengejawantahannya adalah berupa program residensi relawan—meminjam istilah yang diberikan oleh aktivis TBM Rumah Dunia, Firman Venayaksa. Sesama TBM bisa saling belajar melalui program silang satu dua pengelola. Waktunya bisa disepakati. Sebulan, dua bulan, atau lebih dari itu.

Dari program residensi relawan ini, keduanya bisa saling bertukar informasi sekaligus melihat secara langsung bagaimana suatu TBM dikelola. Baik menyangkut manajemen relawan, sistem rekrutmen, strategi pendanaan, maupun kontinuitas program. Selain itu dapat juga saling bertukar data pihak ketiga (stakeholder dan shareholder) yang dimiliki masing-masing TBM dan telah terjalin kerjasama.

Masih tentang residensi relawan ini, sarana lain yang bisa digunakan sebagai wadah pelaksanaan pendekatan empati mitra dalam konteks pengembangan budaya baca adalah program peminjaman relawan. Layaknya peminjaman pemain dalam olahraga sepakbola.

Tujuannya, melalui relawan yang dipinjam ini, kapasitas TBM yang dipinjami meningkat. Baik lembaga, maupun pengelolanya. Tentu ”pemain” pinjaman tersebut harus memiliki kualifikasi kompetensi yang mumpuni. Baik dalam ranah personal, sosial, manajerial, maupun kewirausahaan.

Bentuk penerapan berikutnya adalah berkaitan dengan pengelolaan dan penambahan koleksi, serta strategi pendanaan dan sistem pelaporan. TBM bisa bermitra dengan institusi mapan yang memiliki kompetensi tinggi di bidang itu. Misalnya perpustakaan daerah (provinsi, kabupaten dan kota), (asosiasi) penerbit buku, kantor akuntan publik, dan lembaga donor (yayasan filantropi). Bentuknya bisa berupa anjangsana (presentasi), pelatihan (workshop), maupun pendampingan.

Lainnya?

Sesama TBM bisa saling bertukar program, berkolaborasi, bahkan membuat helatan bersama yang bersifat masif. Pertukaran program bertujuan untuk memberikan variasi program dalam suatu TBM. Sehingga akan selalu ada kebaruan. Gambaran teknisnya seperti ini. TBM x mengundang TBM y untuk menggelar acara di TBM x. Di lain waktu, TBM x yang menggelar acara di TBM y. Kedua TBM tersebut hendaknya memiliki karakteristik yang berbeda. Sehingga pamrih kesan kebaruan program dapat terlunasi.

Bentuk-bentuk lain rekayasa pendekatan empati mitra untuk mengembangkan budaya baca dapat digagas sesuai dengan kebutuhan, potensi, dan imaji atau impian masing-masing TBM. Serta seberapa luas jejaring relasi yang dimiliki.♦

--------------------
Esei ini dirakit sebagai bahan stimulasi diskusi pada acara Rembuk Forum Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang diprakarsai oleh Kementerian Pendidikan Nasional—Direktorat Pembinaan Pendidikan Masyarakat. Dihelat di Solo, 18 s.d. 21 April 2011.

Bom Buku dan Masadepan Budaya Baca

Written By Agus M. Irkham on 2 Apr 2011 | 09:55



:: agus m. irkham

Buku, ungkap Mochtar Lubis, adalah senjata yang kukuh dan berdaya hebat untuk melakukan serangan maupun pertahanan terhadap perubahan sosial. Termasuk perubahan nilai-nilai manusia dan kemasyarakatan.

Tentu yang dimaksudkan penulis novel Harimau-Harimau dengan ungkapan “senjata berdaya hebat untuk melakukan serangan” itu bukan dalam bentuk bom buku yang dikirim ke aktivis Jaringan Islam Liberal Ulil Abshar Abdalla, Bos Republik Cinta Management Ahmad Dhani, Ketua Pelaksana Harian Badan Nasional Narkotika Komjen Gories Mere dan Ketua Umum Pemuda Pancasila Yapto S Suryosoemarmo.

Kalau saya baca keseluruhan isi surat yang ditujukan ke Ulil—seperti yang dilansir laman detik.com—nampaknya si pembuat surat adalah seseorang yang sudah akrab dengan dunia kata (perbukuan). Terlihat mulai dari struktur surat, gaya bahasa yang dipakai, pilihan kata, hingga akurasi huruf. Termasuk prosedur (SOP) meminta kata pengantar. Pada bagian “Hal” tertulis: Permohonan memberikan kata pengantar buku dan interview—yang ditulis dengan huruf cetak tebal dan diberi garis bawah—menampakkan si pengirim berkemampuan menulis surat yang baik.

Ada keganjilan
Hanya saja yang agak ganjil—paling kurang saya belum bisa menemukan pertaliannya—adalah antara permintaan kepada Ulil untuk memberikan kata pengantar dengan judul buku Mereka harus dibunuh karena dosa-dosa mereka terhadap Islam dan kaum Muslimin itu. Masih berdasarkan isi surat pengirim bom buku, buku tersebut memuat deretan nama dan dosa-dosa tokoh Indonesia yang pantas dibunuh.

Tak jelas, apakah Ulil termasuk satu dari deretan nama tokoh berdosa tersebut. Tapi kalau membaca rekam jejak Ulil di masa lalu, lantaran salah satu artikel yang termuat harian Kompas, darahnya pernah dihalalkan untuk ditumpahkan (dibunuh). Bisa jadi Ulil termasuk salah satu dari deretan tokoh pendosa itu. Namun jika Ulil termasuk salah satu tokoh pendosa, kenapa dimintai kata pengantar? Kalau tidak termasuk, apa pasal buku dilengkapi dengan bom? Yang berarti Ulil pantas dibunuh.

Andai, si pengirim serius dengan niatannya untuk menerbitkan buku tersebut, tentu ia akan lebih memilih orang yang pro atau setuju dengan pendapatnya (isi buku) untuk memberikan kata pengantar. Karena sejauh yang saya tahu, lazimnya kata pengantar diberikan oleh tokoh yang sevisi dengan penulisnya. Atau dipastikan akan mengafirmasi bukan menegasi isi buku.

Nah selama ini publik mengenal sosok Ulil sebagai pribadi “usil”. Melalui komunitasnya Jaringan Islam Liberal ia getol menggelar diskusi dan menulis artikel dan buku yang isinya mendekonstruksi berbagai cara pemahaman umat terhadap definisi dan praksis beragama. Terutama Islam. Ingatan pendek banyak orang terhadap sosok Ulil yang demikian ini tentu akan mendatangkan simpulan. Ikhtisar bahwa Ulil (kemungkinan besar) menjadi salah satu dari deretan tokoh yang pantas dibunuh itu.

Pertanyaan, apakah si penulis tidak paham dengan jejak rekam Ulil, hingga begitu naif memintanya memberikan kata pengantar terhadap buku yang hampir pasti berseberangan dengan cara berfikir, pandangan hidup, dan paradigma beragama Ulil.

Dan naga-naganya, kalau memang buku ini benar-benar terbit, akan diterbitkan secara swakelola (selfpublishing) dengan model distribusi gerilya. Minimal tidak menggunakan jaringan toko buku besar. Mustahil toko buku dan distributor mapan akan menerima dan memasarkan buku yang saat membaca judulnya saja, orang sudah merinding. Walaupun kalau dilihat dari sisi potensi serapan pasar, sepertinya akan laris manis (bestseller). Bukan saja lantaran ada kasus bom buku, tapi karena judulnya yang provokatif dan menantang rasa penasaran publik untuk mengulik isinya.

Ahmad Dhani
Hal yang sama nampaknya juga berlaku pada bom buku yang dikirim ke pentolan grup band Dewa, Ahmad Dhani. Ia diminta memberikan kata pengantar buku berjudul Yahudi Militan. Paket bom buku untuk Dhani diledakkan tim Gegana Polda Metro Jaya.

Sampul bom buku berupa foto Dhani yang memakai jubah warna hitam sedangkan tangan kanannya yang memegangi tongkat terangkat ke atas. Menurut pengakuan mantan suami Maya Estianty itu surat pengantar bom buku itu sangat profesional. Berdasarkan isi surat, Dhani diminta memberikan sekapur sirih tentang ada tidaknya kaitan antara ia dengan gerakan zionis (Yahudi). Ganjil. Kata pengantar tapi berisi sanggahan.

Tentang siapa penulis dan pengirim paket bom buku itu, tentu lebih baik kita percayakan pada aparat kepolisian untuk menyigi. Justru kekuatiran saya atas rentetan kasus bom buku tersebut adalah jika membawa akibat kepada masa depan gerakan membaca di Indonesia, yang 2-3 tahun terakhir ini nampak memberikan pencapaian hasil yang signifikan. Jangan sampai hasil yang sudah dicapai dengan susah payah itu dilumerkan kembali dengan kasus bom buku.

Mudah-mudahan yang dulu masih alergi (menghindari) buku, kini tidak menjadi phoby (takut). Serta semoga saja tidak berakibat pula terhadap munculnya aksi sweeping aparat maupun warga terhadap buku bertema ”Islam Garis Keras”—seperti yang pernah terjadi pada 4-5 tahun lalu. Karena itu akan menjadi kabar buruk buat kampanye peningkatan minat membaca (buku) di tanah air.

Sisi Terang Buku Pak Beye

Written By Agus M. Irkham on 16 Mar 2011 | 21:06



:: agus m. irkham

Dibanding para presiden sebelumnya, Pak Beye-lah (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono)—meminjam sapaan yang dipopulerkan wartawan Kompas, Wisnu Nugroho—yang paling getol menelurkan buku. Paling buncit adalah sepuluh judul buku tentangnya yang membuat heboh di Purwokerto, Tegal, Magelang, dan beberapa tempat di Jakarta dan Jawa Barat. Kesepuluh judul buku itu terselip di antara ratusan judul buku proyek yang biayai melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2010. Kehebohan berujung pada penarikan, bahkan di Magelang berakhir pembakaran. Sebuah respon yang menurut saya lebay, kelewat emosional, dan sungguh terlalu!

Ada banyak silang pendapat menanggapi terselipnya kesepuluh buku itu. Mulai dari aspek isi maupun distribusi. Bahkan lebih mundur lagi, mempersoalkan bagaimana buku-buku itu ditulis dan lulus penilaian buku pengayaan. Sepintas, argumentasi yang dikemukan rasional. Tapi kalau mau ditilik lebih jauh, semuanya bermuara pada satu titik: wujud luar saja dari sak wasangka politis.
Selama ini Pak Beye dikenal sebagai sosok yang sangat mengedepankan pencitraan. Hingga keseluruhan dirinya menjadi tidak alamiah. Semua berkesan dibuat-buat. Tidak mengalir. Dan ujung pencitraan adalah kepentingan politik (kekuasaan). Maka semua yang keluar darinya, entah anak akal (kebijakan), anak emosi (ucapan, gesture), maupun anak rohani (buku-buku) selalu saja dicurigai sebagai bentuk humas kekuasaan politik.

Beda dengan presiden sebelumnya, Gus Dur misalnya. Tahun 2001, Yoga Ad. Attarmidzi menulis buku berjudul: Gus Dur, Dari Pesantren ke Istana. Diterbitkan oleh PT. Remaja Rosda Karya, Bandung—yang juga menerbitkan kesepuluh buku Pak Beye itu. Dibandingkan dengan buku Pak Beye, buku ini lebih kental nuansa kehumasannya. Hal itu dapat dilihat dari ilustrasi kover depan buku: Gus Dur disunggi banyak orang, sambil berjejal berjalan menuju istana. Tapi lantaran Gus Dur tidak lekat dengan politik pencitraan, buku itu melenggang begitu saja. Sepi dari serapah dan keberatan.

Mempersoalkan isi
Salah satu dalih yang menyebabkan penarikan dan pembakaran buku Pak Beye adalah soal isi. Pokok bahasan dan bahasa yang digunakan terlalu canggih. Sehingga siswa SMP, bahkan SMA tidak akan paham. Taruhlah kilah itu sahih. Pertanyaan saya, apa salahnya? Apakah tidak boleh siswa SMP dan SMA membaca buku-buku berat? Terus, bacaan seperti apa yang dibilang cocok dengan kemampuan berbahasa siswa-siswa itu? Padahal yang saya tahu sampai sekarang belum ada ukuran yang pasti dan akurat tentang kemampuan berbahasa berdasarkan level usia dan jenjang pendidikan.
Dan yang musti dipahami, membaca (buku) bukanlah suatu kegiatan yang terpisah atau yang ditambahkan, melainkan berkelindan dengan proses pembentukan makna kata. Para pembaca adalah pencipta makna. Ungkap Karlina Leksono (Alfon Taryadi, Edit, 1999). Setiap penerbitan buku sudah dengan sendirinya membawa serta dekontekstualisasi suatu teks, tulis Ignas Kleden (1999). Dalam bahasa yang lebih terang—dalam bingkai pemikiran Kleden—kebingungan para siswa justru bisa menjadi sarana mereka belajar bahasa. Memotivasi dan menggerakkan mereka untuk mencari arti entry (lema). Baik dari kamus, bertanya ke guru, maupun paman Google.

Pada titik itu, membaca bukanlah kegiatan pasif. Sebaliknya, aktif. Ia memungkinkan menjadi pintu gerbang bagi upaya untuk membaca buku-buku lainnya. Apalagi fitrah sebuah buku, ia tak pernah sendiri. Ia akan selalu dikaitkan dengan buku-buku sebelumnya. Termasuk deretan kenyataan yang belum dipadatkan dalam bentuk himpunan teks (buku).

Antimarketing
Dan, sekali lagi, katakanlah, isi buku Pak Beye bohong semua, justru itu bisa menjadi sarana membangun sikap kritis para siswa. Menjadi ufuk-ufuk baru munculnya matahari kesadaran mereka: bahwa tidak selamanya apa yang tertulis itu (teori), sebangun dengan apa yang berlangsung di lapangan. Dengan begitu, di hadapan seorang pembaca yang kritis, buku yang sejak mula diperuntukkan sebagai sarana me-marketing-kan diri pun, justru bisa berubah menjadi sarana anti-marketing diri. Senjata makan tuan. Bumerang!

Buat saya pribadi, menganggap para siswa SMP dan SMA tidak bakal bisa memahami buku-buku Pak Beye, berarti menganggap remeh kemampuan berfikir generasi kini. Kalau buku cerita bergambar (foto) saja sudah dikatakan akan sulit dipahami, lantas para siswa itu mau diberi bacaan macam apa?
Tengok kehidupan Gus Dur saat belia. Sejak usia 10 tahun, Ia sudah akrab dengan buku filsafat, cerita silat, sejarah, hingga sastra. Apakah Gus Dur paham? Mungkin ya, mungkin tidak. Tapi itu tak jadi soal buat kedua orangtuanya. “Jangan terlalu banyak membaca nanti matamu rusak,” itu saja yang dikatakan Sang bunda. Tanpa mempersoalkan apakah buku-buku yang dilahap Gus Dur membuatnya tercerahkan (paham), atau sebaliknya tergelapkan, pusing, tidak paham.

Hasilnya? Saat SMEP—setingkat SMP (?)—Gus Dur sudah karib dengan buku What is To Be Done-nya Lenin, Das Kapital karya Karl Marx, buku filsafat Plato, Thales, novel William Bochner, serta Romantisme Revolusioner karangan Vladimir Ilych. Tak terkecuali buku-buku karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner ia lahap.

Pengalaman membaca Gus Dur mengabarkan kepada kita bahwa semakin sulit suatu bacaan, serta merta si pembaca akan berjuang untuk memahaminya. Dan perjuangan itu akan membuahkah hasil berupa kayanya perbendaharaan kata. Terbiasa dengan teks sulit juga akan membantu memahami gagasan-gagagasan abstrak. Serta tertantang pula untuk membaca buku lainnya yang tingkat kesulitannya lebih tinggi. Nah, pada titik ini, mempesoalkan isi buku Pak Beye sebagai buku yang “jaka sembung naik ojek” alias tidak nyambung jek—dengan tingkat kebutuhan bacaan siswa SMP menjadi tidak relevan lagi.

foto : politikana.com

Agar Minat Baca Masyarakat Meningkat

Written By Agus M. Irkham on 26 Feb 2011 | 17:13



:: agus m. irkham

Minat Baca Publik Cukup Tinggi. Demikian judul hasil jajak pendapat Kompas (8/11/2008) tentang minat baca masyarakat di Kota Semarang, Solo, Purwokerto, dan Tegal. Sebanyak 38,1 persen mengaku setiap hari selalu membaca. Hanya 10 persen responden yang mengatakan tidak terlalu suka membaca. Dalam sebulan mereka hanya menggunakan satu dua hari untuk membaca.

Rilis hasil jajak pendapat tentang minat baca tidak sekali itu saja dilakukan Kompas. Dua tahun lalu, tepatnya 20 November 2006, Kompas melansir hasil jajak pendapat serupa. Berbeda dengan tahun ini, pada jajak pendapat tahun 2006 terungkap: minat baca buku masyarakat masih rendah. Tak kurang 67,16 persen responden menyatakan tidak pernah mengunjungi perpustakaan, baik untuk meminjam, maupun sekadar baca-baca.

Meskipun hasil jajak pendapat tersebut tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh populasi, dan besar kemungkinan sampel (responden) yang dicuplik antara tahun 2006 dengan 2008 juga beda, sehingga secara absolut keduanya tidak bisa diperbandingkan, tetap saja hasil jajak pendapat 2008 menumbuhkan optimisme tersendiri. Pengharapan itu penting, mengingat di tahun 2005 secara nasional, Jawa Tengah dinyatakan sebagai propinsi dengan angka buta huruf tertinggi kedua. Tak kurang dari tiga juta jiwa, di mana 20,42 persennya (680.768 orang) adalah usia produktif. Mereka meriap menjadi generasi nol buku.

Tingkat pendidikan
Membaca hasil jajak pendapat tahun 2008, saya menemukan beberapa kenyataan menarik. Pertama, ternyata responden yang berpendidikan tinggi cenderung memiliki minat baca yang tinggi pula. Tercatat responden berpendidikan pascasarjana, seluruhnya (100 persen) membaca buku setiap hari. Kebiasaan yang sama juga dimiliki responden berpendidikan sarjana (48,5 persen), dan diploma (35,4 persen).

Dari beberan perangkaan di atas dapat disimpulkan bahwa tingginya tingkat pendidikan yang ditamatkan memiliki pengaruh yang sangat berarti (siginificant) terhadap meningkatnya minat baca publik. Penali itu diikatkan berdasarkan asumsi: dengan tingginya tingkat pendidikan, semakin tinggi pula kesadaran terhadap pentingnya informasi, ilmu, dan pengetahuan. Dan ketiganya dapat diperoleh melalui aktivitas membaca.

Kedua, lebih dari 50 persen responden menyatakan bahwa motivasi mereka membaca adalah untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan ditempatkan sebagai tugas belaka. Temuan itu mengarah pada satu simpulan: sifat aktivitas membaca golongan menengah tersebut (pascasarjana, sarjana, dan diploma) masih terbatas pada hal-hal yang berwatak fungsional. Belum menjadi hobi, dan kebiasaan. Hanya 17,6 persen responden yang menempatkan kegiatan membaca buku sebagai gaya hidup (aktivitas budaya).

Salah satu ukuran, seseorang tergolong sudah berbudaya atau tidak—dalam konteks buku dan minat baca—adalah kesediaan ia untuk membaca buku bertema di luar pekerjaan dan menganggarkan beli buku di tiap bulannya. Dalam bingkai itu, hasil jajak pendapat tahun 2008 tidak beda jauh dengan tahun 2006. Pada tahun 2006, lebih dari separuh responden (58,21 persen) tidak memiliki anggaran beli buku di tiap bulannya. Hanya 15,52 persen responden yang mengaku tiap bulan menganggarkan beli buku.

Memperbesar golongan menengah
Bertolak dari ikhtisar di atas, paling tidak ada empat hal penting yang harus dipahami. Pertama, pamrih meningkatkan minat baca (buku) pada masyarakat, berada dalam satu garis lurus dengan kemampuan pemerintah menyediakan sarana-prasarana pendidikan, serta kemudahan untuk mengaksesnya. Hendaknya pendidikan dijadikan pula sebagai tempat berlangsungnya inisiasi dan internalisasi pentingnya membaca. Bukan hanya dengan memperbanyak jumlah taman baca. Karena membaca hanya sebatas akibat, bukan sebab.

Kedua, kemiskinan adalah bentuk paling ampuh dari kampanye antibuku. Alur pertaliannya seperti ini: karena miskin, tak punya uang, akhirnya tidak bisa mencecap bangku sekolah. Karena tidak sekolah, kesadaran tentang pentingnya pengetahuan, dan informasi tidak tumbuh. Lantaran tidak tumbuh, otomatis kegiatan membaca (buku) dianggap tidak penting. Maka tujuan meningkatkan minat baca, berbanding lurus dengan upaya mengikis angka kemiskinan. Karena, selama angka kemiskinan tinggi, selama itu pula, minat baca rendah.

Ketiga, agar level motivasi membaca meningkat, dari yang sekadar teknis, dan fungsional menjadi budaya, pemerintah harus memperbesar jumlah golongan menengah. Baik berdasarkan kategori tingkat kesejahteraan ekonomi maupun tingkat pendidikan. Caranya dengan menyediakan lapangan kerja yang cukup, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, pemberian gaji dan upah yang memadai, pemberian jaminan/asuransi kesehatan, perumahan, serta pendidikan.

Lantas, apa pentingnya memperbesar golongan menengah serta mengarahkan kegiatan membaca sebagai aktivitas budaya? Tak salah lagi, karena keduanya selama ini kerap didaulat menjadi aktor (hardware) dan otak (software) yang mampu membuka pintu bagi datangnya modernisasi, partisipasi, empati, kepedulian, demokratisasi, desentralisasi ilmu pengetahuan, perbaikan taraf hidup, kesadaran arti penting membaca, serta kemajuan suatu bangsa.

Keempat, agar hasil jajak pendapat minat baca bisa menjadi input kebijakan yang akurat, responden hendaknya dipecah-pecah berdasarkan kategori kelas. Taruhlah, ini contoh saja, berdasarkan tingkat pendidikan, gaji, dan belanja bulanan, responden terbagi menjadi kelas atas, menengah, dan bawah. Setelah responden tiga kategori itu terbentuk, baru dilakukan jajak pendapat. Saya membayangkan hasilnya tentu akan lebih menarik dan penuh kejutan-kejutan aneh. Termasuk perbedaan rekomendasi program peningkatan minat baca di tiap-tiap kelasnya.

Blog Sebagai Media Pembelajaran di Sekolah

Written By Agus M. Irkham on 9 Feb 2011 | 20:12



:: agus m. irkham

Guru dan internet. Saat ini dua lema itu menarik untuk diulas. Maklum saja, tanpa ada upaya menguasai internet, cepat atau lambat fungsi guru akan tergantikan. Minimal jatuh wibawa. Karena untuk belajar dan bertanya, siswa akan lebih memilih mengetik kata kunci di google, atau wikipedia. Terlebih sejak 2006 pemerintah menerapkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum tersebut memberikan keleluasaan siswa untuk memperkaya sumber-sumber materi pelajaran. Tak terkecuali dari internet.

Satu entry paling menonjol saat berbicara tentang penguasaan internet bagi guru adalah Blog. Seminar dan workshop pembuatan Blog untuk guru seringkali digelar.
Di Jawa Tengah misalnya. Klub Guru Jawa Tengah menggelar Seminar Nasional dan Workshop Pembuatan Blog (8/3/2009). Workshop yang berlangsung di auditorium balai kota Semarang itu dihadiri lebih dari 300 peserta, sebagian besar guru.

Sebelumnya, di awal Februari 2009, Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia SMA RSBI (Rencana Sekolah Berstandar Internasional) Jawa Tengah menghelat workshop pembuatan Blog dan penulisan artikel. Ada sekitar 60 peserta berasal dari 34 SMA di Jawa Tengah antusias mengikuti pelatihan tersebut.

Ada apa dengan Blog?
Secara sederhana Blog dapat dimaknai sebagai satu halaman web yang berisi tulisan pribadi atau kelompok yang secara otomatis telah diurutkan berdasarkan kronologis waktu. Di dalam Blog terdapat beragam fitur yang memungkinkan terjadinya interaksi dan komunikasi antara pemilik dengan pengunjung Blog.

Di awal-awal kemunculannya, Blog lebih banyak berisi curhat, dan catatan harian (diary) pemiliknya yang bersifat pribadi. Tapi seiring berjalannya waktu, isi Blog kian beragam. Ada yang digunakan sebagai gerai dagangan jasa dan barang, media berbagi dan bertumbuh (sharing and growing) sesama anggota komunitas, tandon informasi beasiswa, lowongan kerja, termasuk sebagai ajang komunikasi antar guru, guru dengan siswa, dan antar siswa.

Pertumbuhan jumlah Blog di Indonesia terbilang cepat. Setiap enam bulan sekali bertambah dua kali lipat. Jika pada Oktober 2007 jumlah Blog masih 130 ribu, maka per Maret 2008 sudah mencapai 400 ribu. Salah satu sebab meledaknya jumlah Blog adalah tabiat asli Blog itu sendiri. Yaitu gratis, memudahkan, dan fitur-fitur yang tersedia cukup lengkap. Dengan demikian bagi seorang yang awam internet, dan tidak tahu bahasa pemrograman sekalipun, tetap bisa dengan mudah memanfaatkan Blog.

Blog sebagai media pembelajaran
Ada tiga situasi paling tidak, yang membuat Blog bisa menjadi alternatif media pemelajaran di sekolah. (1) KTSP yang mengharuskan guru dan siswa memperkaya materi dan sumber pemelajaran. (2) Keterbatasan sumber pemelajaran yang berbasis pada atom/kertas (buku teks pelajaran). (3) Tingginya angka pengguna internet dari kalangan pelajar.

Untuk diketahui, sampai dengan Oktober 2007 pengguna internet di Indonesia sudah mencapai angka 25 juta. Dari angka tersebut, 30 persennya adalah pelajar. Jika kita ambil rerata jumlah Blogger (pemilik Blog) dari kalangan pelajar adalah 10 persen saja dari 30 persen tersebut, maka ada 750.000 pelajar yang setiap harinya nge-Blog. Mereka menulis, mengedit, mengirim tulisan, mempercantik Blog dengan beragam fitur maupun sekadar memberi komentar di Blog orang lain.

Atas dasar catatan statistik di atas, pemanfaatan Blog sebagai sarana pen-desentralisasian ilmu pengetahuan di sekolah tentu saja bukan menjadi sesuatu yang di atas langit sana. Apalagi, secara eksplisit Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Muhammad Nuh pernah mengatakan bahwa hendaknya Blog dapat dijadikan sebagai sarana edukasi, pemberdayaan, dan pencerahan. Melalui fungsi edukasi tersebut, Blog bisa dimanfaatkan untuk mendukung proses pemelajaran di sekolah.

Lantas, apa wujud nyata Blog sebagai media pemelajaran?

Berdasarkan teknis pemelajaran yang akan diterapkan, paling kurang ada tiga bentuk (Ayu Setyautami, dkk, 2008). Pertama, Blog guru sebagai pusat pemelajaran.

Guru membuat satu Blog khusus yang diisi dengan materi pemelajaran tertentu. Siswa diminta memberikan komentar, kritik/revisi atas materi tesebut. Tidak hanya komentar, siswa juga diberi keleluasaan untuk menuliskan link yang dapat memperkaya materi itu.

Selain materi, Blog juga bisa digunakan untuk memuat tugas-tugas yang harus diselesaikan para siswa. Agar menarik, guru dapat melengkapi tampilan tugas itu dengan animasi lagu, video, dan fasilitas multimedia lainnya. Penilaian akhir hendaknya tidak didasarkan hanya pada pengerjaan tugas, tapi juga kuantitas dan kualitas siswa dalam memberikan komentar/kunjungan ke Blog.

Kedua, Blog guru dan siswa yang saling terintegrasi. Guru kelas/mata pelajaran dan siswa sama-sama memunyai Blog. Blog siswa digunakan untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru. Siswa juga diberi kebebasan untuk memperkaya pelajaran yang diperoleh, dengan cara menuliskannya di Blog masing-masing. Dan itu akan dinilai oleh guru. Sehingga tanpa sadar para murid telah digiring ke dalam dalam situasi saling berkompetisi. Untuk mengentalkan gairah kompetisi, di tiap bulannya guru bisa memberikan hadiah (reward) untuk tiga Blog terbaik. Integrasi antara Blog guru dengan murid bisa dilakukan dengan cara saling nge-link.

Ketiga, Blog sekolah sebagai pusat pemelajaran. Guru dan siswa di satu sekolah memunyai satu Blog. Blog itu dikelola dan dimanfaatkan secara bersama-sama, menjadi pusat pemelajaran (learning center) seluruh penghuni sekolah. Blog sekolah juga bisa ditempatkan sebagai humas-nya sekolah ketika berinteraksi dengan pihak luar, sekolah lain, misalnya. Nah, jika sekolah lain itu memunyai Blog, dan sepakat untuk saling nge-link (terintegrasi), maka telah terbentuklah komunitas Blog sekolah yang lebih mapan disebut sebagai komunitas Blogger pembelajar.♦

Habis Komunitas Terbitlah Buku



:: agus m. irkham
—pernah tersurat di majalah girlyzone—

Jika sulit menerbitkan buku, bergabunglah ke dalam komunitas. Begitu nubuat sementara penulis senior untuk penulis mula. Tilikan yang mengandung sangka: mereka yang tergabung ke dalam komunitas berarti orang-orang yang tidak memunyai keberanian untuk berproses seorang diri. Termasuk menghadapi kegagalan dan penolakan dari media massa dan penerbit buku.

Benar begitu? Nanti dulu. Nujum itu itu benar jika komunitas yang dimasuki memang sudah jadi, punya nama. Sehingga oleh anggota yang baru masuk dapat dijadikan gerbong penarik. Memeroleh tambahan daya tawar. Nama besar komunitas menjadi semacam stempel kualitas tulisan.

Tapi akan lain ceritanya kalau komunitas yang dimasuki terbilang bayi, belum mapan. Tentu pamrih numpang nama menjadi tidak relevan. Lantaran posisi komunitas lebih kental sebagai wadah berproses, ketimbang tukang stempel. Menjadi semacam masterminds. Ajang saling ledek, memprovokasi, menyemangati, sekaligus belajar menulis. Isi (anggota) dan wadah (komunitas) tumbuh berbarengan. Jenis komunitas terakhir inilah yang biasanya lebih berpotensi memiliki anggota loyal. Dan lebih penting lagi, tidak menghasilkan penulis karbitan.

Termasuk ke dalam ragam komunitas terakhir disebut, beberapa di antaranya: Komunitas Bambu, Komunitas Pecinta Bunga Matahari, Komuntas Rumah Malka, serta Rumah Dunia. Dan yang menarik, berdasarkan hasil pendarasan saya atas lebih dari 20-an komunitas literasi di Indonesia, baik yang bersifat online maupun offline, termasuk empat komunitas tersebut di atas, rupa-rupanya mereka bermula pada satu titik yang sama: kegemaran terhadap (membaca) buku.

Modusnya kira-kira seperti ini: awalnya suka buku, ngumpul, berdiskusi, ngobrol soal buku, obrolan direkam, dicatat. Lantas diketik, diedit, dan dikemas dalam bentuk buku. Bahkan tidak berhenti di buku hasil transkripsi diskusi saja, tapi juga buku utuh. Buku yang memang sejak awal menulis diniatkan untuk diterbitkan. Jadilah dari buku ke komunitas ke buku lagi.

Komunitas ngobrol berkembang menjadi pusat aktivitas budaya. Membaca, berdiskusi, meneliti, menulis, dan menerbitkan buku. Komunitas Bambu (Jakarta) misalnya. Komunitas yang proses kelahirannya dibidani oleh Ihsan Abdul Salam, Donny Gahral Ahdian, dan JJ Rizal ini tergolong produktif menghasilkan buku. Berlarik judul di antaranya: Strategi Menjinakkan Diponegoro, Lembah Kekal, Seikat Kata yang Beku, Kisah Surat Dari Legian, Pura-Pura dalam Perahu, dan Paris di Kala Malam. Kerjasama menyangkut kelonggaran pembayaran biaya cetak, membuat gairah mereka menelurkan buku semakin meninggi.

Lainnya, adalah Komunitas Pencinta Bunga Matahari. Akrab disebut dengan nama Komunitas Buma. Komunitas pencinta puisi ini sebelumnya juga hanya sekadar ngumpul-ngumpul. Berdiskusi melalui mailing list, saling bertukar dan membaca puisi. Berbagi cerita proses kreatif, dan bersilang komentar atas satu dua judul buku kumpulan puisi. Ujungnya? Mereka meluncurkan buku kumpulan puisi: Antologi Bunga Matahari (avatar Press, 2007).

Oleh salah satu pendirinya, Gratiagusti Chananya Rompas, yang lebih karib disapa Anya Rompas, Buma dimaksudkan sebagai tempat bagi semua orang untuk secara bebas mengapresiasi puisi. Tidak terbatas hanya pada mereka yang mencipta, tapi juga yang sekadar penikmat.

”Buma membuat semua orang dapat berpuisi”, jawab Anya, ketika saya tanya tujuan ia menggagas komunitas itu. ”Sehingga tidak ada lagi olok-olokan, penulis puisi lebih banyak ketimbang pembacanya.” tambahnya. Di telinga saya, kalimat itu terdengar lain: ”Buku kumpulan puisi menjadi buku yang paling tidak laku.” Sayangnya, saya tidak melanjutkannya dengan bertanya: apakah Antologi Bunga Matahari laku di pasaran?

Dan berbicara tentang pertalian antara buku dan komunitas, “dosa besar hukumnya” jika tidak menyebut Forum Lingkar Pena. Dunia perbukuan Indonesia telah berhutang banyak pada komunitas yang disebut sastrawan gaek, Taufik Ismail sebagai “hadiah dari Tuhan untuk Indonesia” itu. FLP sejak kelahirannya hingga kini telah menelurkan ribuan judul buku. Baik sasta (fiksi), maupun non fiksi.

Faedah yang dapat kita kunyah dari fenomena—kalau boleh disebut demikian—buku-buku yang dilahirkan oleh komunitas literasi, pertama menulis buku sangat dekat dengan aktivitas membaca, berdialog, merenung, dan meneliti. Ia merupakan gabungan antara teks dan konteks. Buah dari mengakrabi kehidupan. Itu sebab, buku disebut sebagai anak rohani manusia. Bukan lawanannya: menulis buku adalah kerjaan orang yang kuper, penyendiri, dan fatalis.

Kedua, kecintaan terhadap buku tidak membuat pencintanya larut dalam tindakan konsumtif, berupa sekadar membeli untuk memperbanyak jumlah koleksi. Sebaliknya, justru merembetkan rasa iri. Berupa keinginan untuk menulis buku juga.

”Karena membaca buku bukan suatu kegiatan yang terpisah atau yang ditambahkan, melainkan berkait jalin dengan proses makna teks. Para pembaca adalah pencipta makna.” Demikian tulis Karlina Leksono dalam esainya, Membaca dan Menulis: Sebuah Pengalaman Eksistensial (1999).

Dengan begitu, buku yang terbit saat ini sejatinya adalah hasil pemaknaan atas buku yang terbit saat lalu. Simpulan itu sekaligus sangkalan terhadap adanya pendapat bahwa membaca buku itu tidak produktif.

Ketiga, bahwa proses kreatif menulis buku bersifat sangat personal, itu betul. Tapi jangan lupa, menulis buku membutuhkan nafas panjang. Dan nafas panjang itu berasal dari motivasi yang terus terjaga. Merujuk pada pengalaman tak berbilang penulis, motivasi paling sering datang dari orang-orang yang memunyai kesamaan minat dan tujuan—menjadi penulis. Di dalam komunitaslah ”kemewahan” itu dapat dicecap. Gratis lagi. Dalam pengertian yang terakhir itulah, kita dapat memahami fatwa: ketika Anda sulit menulis atau tidak berani menerbitkan (buku), bergabunglah ke dalam komunitas.♦

Buku Berbalas Buku*)

Written By Agus M. Irkham on 8 Feb 2011 | 23:44



:: agus m. irkham
Sudah jamak buku yang memproduksi perdebatan lantas dibalas dengan menerbitkan buku pula. Hingga ada fenomena buku berbalas buku. Namun sangat jarang perdebatan itu melahirkan buku tandingan yang intensitasnya menyamai novel Da Vinci Code anggitan Dan Brown, seorang penulis Amerika. Da Vinci Code diterbitkan pada 2003 oleh Doubleday Fiction.

Karya fiksi yang versi Indonesinya diterbitkan Serambi pada tahun 2004 itu,
merupakan salah satu buku terlaris di dunia. Berdasarkan catatan saya, sampai dengan Agustus 2005 telah laku sebanyak 36 juta eksemplar dan telah diterjemahkan ke dalam 44 bahasa, serta menjadi salah satu subjek studi kebudayaan (cultural studies).

"Semua deskripsi karya seni, arsitektur, dokumen, dan ritus rahasia dalam novel ini adalah akurat," tulis Dan Brown membuka sapa. Penegasan yang semakin membuat banyak pihak gemetar, skeptis, sekaligus tak kuasa menunggu untuk segera membantahnya. Dan Brown disebut sebagai antikristus.

Maka lahirlah beragam buku yang dimaksudkan sebagai revisi, bahkan tulis ulang atas apa yang sudah ditulis Dan Brown dalam Da Vinci Code. Anehnya bantahan itu tidak dalam bentuk novel, melainkan buku serius alias non fiksi: Mematahkan Teori-teori Spekulatif dalam The Da Vinci Code (Bhuana Ilmu Populer, 2005). Buku ini merupakan terjemahan Cracking Da Vinci's Code, karya James Garlow dan Peter Jones (Colorado Springs: Victor, 2004). Fakta dan Fiksi dalam The Da Vinci Code, Da Vinci Code Decoded: Menguak Kisah Di Balik Fiksi Da Vinci Code (Martin Lunn), Menjawab The Da Vinci Code, dan Pengakuan Maria Magdalena (Lie Chung Yen, Kanisius, 2005).

Tren buku berbalas buku itu paling tidak menerbitkan tiga pemaknaan.
Pertama, Tidak ada kebenaran tunggal atas satu atau banyak situs sejarah. Tak ada pihak manapun yang memiliki otoritas kebenaran. Buku berbalas buku sekaligus bentuk optimisme terhadap pencarian kebenaran sejarah. Wujud nyata dari perjuangan melawan lupa. Karena kepemilikan tunggal atas klaim kebenaran sejarah sering kali memproduksi keberaturan yang meniadakan partisipasi dan kemerdekaan. Semua hendak didisiplinkan. Tidak hanya baju yang harus seragam, tapi juga isi kepala. Buku berbalas buku adalah ruang (bagi) publik untuk menyatakan kebebasannya berpendapat. Entah dalam bentuk gunjingan, perdebatan, atau sekadar nggeremeng. Ia menjadi ukuran pada tingkat mana sebenarnya kemerdekaan individu itu diakui.

Kedua, buku memungkinkan terjadinya perdebatan yang produktif. Perdebatan yang dilakukan tidak dengan semangat menyakiti. Sebaliknya, saling mengingatkan dan melengkapi. Ada keinsyafan betapa cara pandang terhadap satu persoalan itu begitu beragam. Wujud persaudaraan sebagai sesama makhluk Tuhan yang secara given telah diberi bekal untuk mengaktualisasikan potensi kebenaran yang dimiliki tiap diri.

Ada yang mengatakan apa yang terjadi di bumi ini tidak ada satu dan sesuatu pun yang baru—karena jelujur kisah kehidupan sering kali berulang—sampai dengan seseorang bisa bersyukur atas apa-apa yang sudah diperoleh. Maka pada sudut ini, buku berbalas buku sebenarnya adalah bagian dari ungkapan rasa syukur itu.

Melalui menulis buku balasan, membuat seseorang berjarak dengan apa yang sedang ia sebut sebagai masalah. Keberjarakan itu diperlukan agar ia terhindar dari situasi kalis, bisa lebih jernih dan merdeka ketika melihat sesuatu. Itu sebab, isi buku balasan bukannya cemooh, syak wasangka, dan ejekan-ejekan nyinyir yang ditonjokkan pada penulisnya, tapi pemikirannya. Isi bukunya.

Buku berbalas membuktikan kepada khalayak pembaca bahwa ternyata tema buku tidak akan pernah habis. Meskipun ada kesan semua tema dari a sampai z sudah pernah ditulis. Tapi ternyata ada saja, sela-sela tema, bagian atau sudut pandang tulisan yang belum dimasuki, yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh penulis lain.

Ketiga, dari sisi strategi pemasaran buku, buku berbalas buku adalah modus paling mudah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Karena pasar sudah terbentuk sejak mula. Perdebatan yang muncul, dapat dibaca sebagai potensi pasar yang masih terbuka lebar. Pada kasus Da Vinci Code, penerbit Bhuana Ilmu Populer yang merupakan kelompok Kompas Gramedia, serta Kanisius posisinya sebagai pembonceng gratis. Mereka tak perlu lagi bermain keberuntungan. Pada segi ini buku berbalas buku akan melahirkan istilah: penulis kejar tayang dan penerbit kejar setoran.

*) judul esai ini diberikan oleh Anita Ba'daturohman, salah satu peserta pelatihan menulis artikel dan buku ONLINE yang tengah saya asuh.

Dari Huruf ke Gambar Hidup

Written By Agus M. Irkham on 30 Jan 2011 | 16:28



:: agus m. irkham

Marah. Protes. Ngomel. Beragam ekspresi keberatan seperti itu sering kali muncul ketika sebuah novel laris akan difilmkan. Alasannya bermacam-macam. Dari soal pemain yang tidak sesuai dengan karakter tokoh novel, hingga jalan cerita film yang dikuatirkan tidak sama dengan isi novel. Contoh paling dekat adalah film Ayat Ayat Cinta, dan Laskar Pelangi. Sampai-sampai Andrea Hirata, penulis novel Laskar Pelangi mengatakan: pembaca buku di Indonesia sangat bersifat personal, sentimental, dan cenderung emosional.

Beruntung, para pengarang dan sineas nekat, tidak menuruti keberatan para pembaca. Dan kenekatan itu, sebagian besar terlunasi. Film adaptasi novel yang mereka putar didatangi jutaan penonton. Kemarahan, protes, omelan pun berganti sanjungan, dan acungan ibu jari.

Di Indonesia, adaptasi novel menjadi film sebenarnya bukanlah barang baru. Seperti film berjudul Kampus Biru (Ami Priyono), Badai Pasti Berlalu (Teguh Karya), Kabut Sutra Ungu (Syumanjaya)—untuk sekadar menyebut contoh. Bahkan film terakhir disebut, menjadi film paling laris dan menembus box-office. Hal yang sama juga berlaku pada Kampus Biru, film hasil adaptasi novel karya Ashadi Siregar, Cintaku di Kampus Biru.

Uniknya, kemunculan berbagai film adaptasi itu justru dinanti-nanti orang penuh gairah. Mengapa bisa begitu? Ada dua kemungkinan. Pertama, meskipun secara jumlah, tidak terlalu besar, masyarakat pembaca saat itu sudah dewasa, pintar, dan mapan. Tidak bersifat personal, sentimental, dan cenderung emosional—meminjam istilah Andrea. Mereka sadar betul bahwa film adaptasi adalah sesuatu yang berbeda dengan bukunya. Film adaptasi bukanlah buku dalam bentuk film.

Kedua, masyarakat penonton saat itu bukanlah sebagai masyarakat pembaca sekaligus. Karena belum membaca bukunya, benak mereka tidak dipenuhi oleh sak wasangka tentang film yang benar yang begini-begitu. Mereka menempatkan film adaptasi itu sebagai film yang betul-betul orisinil/baru.

Hubungan mutualisme
Beberan asnad di atas memahamkan kepada kita bahwa buku rupa-rupanya tidak semata-mata produk budaya yang steril dari pengaruh budaya lain. Namun telah menjadi bagian dari budaya pop lainnya, layaknya musik, film, dan lain-lain.

Hubungannya pun bersifat mutualisme. Saling menguntungkan. Bisa saja seseorang karena sudah membeli dan membaca, ia lantas penasaran ingin menonton versi filmnya. Maka tak berlebihan, jika angka keterjualan buku sebelum difilmkan sering menjadi titik pijak produser ketika menghitung potensi jumlah penonton (keuntungan).

Atau sebaliknya. Orang tergerak membeli dan membaca buku seusai menonton. Pada kasus buku yang sudah laris, tambahan penjualan itu akan semakin membuat kacang goreng iri. Hal itu juga dapat dimengerti: film yang kerap disalah sangkai dengan sesuatu bersifat massal, dangkal, dan konsumtif, dapat dijadikan pintu masuk upaya meningkatkan minat baca buku (personal, dalam, dan produktif) pada masyarakat.

Secara ideal—dilihat dari kepentingan sineas dan pengarang—pun antara buku dan film saling memengaruhi. Di satu sisi isi film ditentukan oleh isi buku. Film menjadi bersifat personal, ada kedalaman, inspiratif, dan menerbitkan semangat berkreasi. Di segi lain perkembangan tema, isi, dan gaya penceritaan buku dipengaruhi pula oleh perturutan budaya pop dalam masyarakat yang terlipat dalam bentuk layar film maupun kaca.

Kemudian yang terjadi adalah saling mengadaptasi. Kini, melipat buku ke dalam film atau mengemas film dalam bentuk helaian buku sudah menjadi sesuatu yang jamak. Pengarang membaca film, sineas menonton buku. Dengan begitu justru semakin memperkaya antar keduanya.

Pembaca buku yang kemudian menonton film, dan penonton film yang lantas membaca buku, tanpa sadar keduanya juga melakukan proses adaptasi. Nikmati saja proses transformasi dari buku ke film atau sebaliknya itu. Tidak perlu menonton sambil mencocok-cocokan dengan isi buku. Justru hanya akan membebani, dan tidak bisa menikmati isi film. Jangan paksakan film yang sudah ada dalam bayangan kita—didapatkan saat membaca buku—mengganti film yang sedang ditonton.

Dekontekstualisasi teks

Setiap penerbitan buku sudah dengan sendirinya membawa serta dekontekstualisasi suatu teks, tulis Ignas Kleden dalam esai berjudul Buku di Indonesia: Perspektif Ekonomi Tentang Kebudayaan (1999). Nah, film adaptasi sejatinya merupakan hasil dekontekstualisasi itu. Hasil darasan itu diolah, lalu dihadirkan kembali dalam wadah (media) yang berbeda, yaitu film. Sineas, sebagaimana pembaca lainnya, memunyai kebebasan penuh menafsirkan teks itu. Sesuai dengan piranti kebahasaan yang ia punyai (film), tanpa harus berkonsultasi dengan pembaca lainnya. Dengan begitu sikap keberatan atas transformasi huruf ke gambar hidup, saya kira menjadi tidak relevan. Meskipun, taruhlah hasil adaptasi ternyata sangat berbeda dengan isi buku.

Dengan memberikan kebebasan kepada para sineas untuk menjajaki kemungkinan suatu buku diadaptasi ke dalam bentuk film, simpul saya justru akan meningkatkan produktivitas para pengarang dan sineas. Dan harapannya, tentu saja kualitasnya juga kian meningkat.

—pernah tersurat di Suara Merdeka—

Ketika Si Ceriwis Menulis (Buku)

Written By Agus M. Irkham on 28 Jan 2011 | 23:30



:: agus . irkham

Naga-naganya, nasib penulis pemula akan semakin merana. Di saat mereka suntuk mengasong naskah kian ke mari, para pesohor/seleb dengan begitu mudah menerbitkan buku. Sebagai penampil, ternyata mereka tidak saja ceriwis bicara tapi juga “pintar” menulis. Bahkan, tidak sedikit dari buku mereka yang laris manis.

Seperti Rieke Diah Pitaloka, melalui Renungan Closet: Dari Cengkeh sampai Utrecht (Gramedia Pustaka Utama). Cetakan pertama (3000 eksemplar) buku itu ludes hanya dalam waktu dua bulan. Melly Goeslaw, dengan buku kumcer bertitel 10 Arrrrrgh... (Gagas Media), telah diserap pasar hingga 10.000 eksemplar dalam waktu kurang dari setahun.

Yang paling membuat iri adalah buku Debby Sahertian berjudul Kamus Bahasa Gaul. Buku berisi lingo atau bahasa prokem komunitas gay terbitan Pustaka Sinar Harapan itu, tak kurang 100.000 eksemplar telah dibeli orang. Keberuntungan Debby bak pinang tak berbelah dengan Supernova-nya Dewi Lestari.

Itu sebab barangkali, banyak seleb mengikuti jejak Rieke dan kawan-kawan. Sys NS meluncurkan Yesterday, Today, Tomorrow, Inggrid Widjanarko merilis Surat untuk Rumput, Kris Biantoro menulis kisah pribadinya-Manisnya Ditolak, Katon Bagaskara memunculkan Bulan Dibuai Awan, Tamara Geraldine menerbitkan Kamu Sadar, Saya Punya Alasan untuk Selingkuh kan Sayang, Yon Koeswoyo membukukan pengalaman hidupnya-Panggung Kehidupan Yon Koeswoyo. Daftar tersebut masih dapat diperpanjang.

Polusi perbukuan
Beragam tudingan muncul, menanggapi kecenderungan si ceriwis yang menulis itu. Mulai dari sangkaan bahwa seleb hanya menerapkan jurus aji mumpung. Penerbit, demi laba jadi abai kualitas. Hingga ada yang menyebut seleb nulis buku sebagai bentuk polusi di dunia perbukuan.

Tidak dapat dimungkiri, modal sosial berujud ketenaran para seleb punya arti tersendiri bagi penerbit. Penggemar yang dimilikinya menjadi semacam captive market. Walaupun jumlah pasti sering kali tidak dapat ditentukan, minimal sudah dapat dijadikan dasar penghitungan kasar jumlah kisaran serapan pasar. Jadi karakteristik konsumen yang hendak dibidik adalah konsumen emosional. Mereka tidak saja membeli isi buku, tapi sekaligus penulisnya.

Wilayah sosial pesohor yang sangat karib dengan media massa (wartawan), juga memudahkan penerbit mengkreasi promosi buku. Misalnya ketika menggelar acara peluncuran buku. Jika pada penulis pemula, wartawan/media diundang saja belum tentu datang. Tapi kalau penulisnya adalah seleb, tanpa diundangpun besar kemungkinan datang. Mengingat seleb yang menulis memang memunyai nilai berita lebih tinggi dibandingkan penulis (pemula) awam.

Dengan begitu, lantas apakah dapat disimpulkan, penerbit mengabaikan kualitas tulisan demi mengejar target keuntungan?

Saya kira penerbit tidak akan gegabah dengan semata-mata memandang nama bukan karya. Kualitas tulisan akan tetap menjadi sesuatu yang penting, hanya saja menjadi tidak paling penting. Tidak lagi menjadi syarat absolut, tapi relatif. Artinya, jika di sana sini masih terdapat kelemahan dan kekurangan, sejauh tidak terlalu esensial, tak soal.

Buku curhat
Kebijakan itu disandarkan pada beberapa pengertian. Pertama, menulis bagi seleb hanya sebatas cara mengungkap rahasia kehidupan pribadi. Meskipun buku yang dihasilkan seolah-olah karya sastra, sesungguhnya karya biografi. Cuma ujud presentasinya saja yang melalui cara non biografis. Praktisi perbukuan, Frans M. Parera pernah menyebut bahwa buku biografis lebih condong pada pengembangan provokasi tentang pesona kehidupan privasi. Sebaliknya, karya sastra ditujukan pada kebermampuan menggugat dan memprovokasikan pesona kehidupan pribadi dan publik.

Dengan bahasa yang lebih gamblang, menulis buku bagi seleb adalah sebatas curhat dan bentuk perayaan kesuksesan hidup. Tanpa dibebani oleh banyak pretensi. Termasuk motif ekonomi (aji mumpung). Mereka menulis bukan untuk menjadi penulis, atau ingin disebut penulis. Kedirian mereka tetap seleb. Dan yang demikian sah-sah saja. Kalau sudah begitu, terhadap karya mereka, keseriusan macam apa yang masih dapat kita harapkan?

Kedua, misteri buku laku. Ternyata buku bagus tidak menjamin akan cepat ludes. Tidak jarang justru terkena angka kutukan 3000 eksemplar. Dalam waktu satu tahun, tumpukan buku cetakan pertama berjumlah 3000 eksemplar itu tidak kunjung menipis. Kebalikannya, ada banyak buku disangka sementara pihak jelak (seperti halnya buku karya para seleb), eh ternyata penjualannya bagus. Tingkat preferensi orang terhadap konsumsi buku yang sulit ditebak itulah yang membuat penerbit menempatkan kualitas tulisan menjadi sesuatu yang bisa dinegosiasikan—dalam konteks seleb menulis.

Ketimbang pikiran dipenuhi sak wasangka, lebih baik tren seleb menulis buku kita tempatkan saja sebagai asnad bahwa ruang dunia perbukuan demikian terbuka. Ada saja bilik-bilik yang belum terulik. Satu bukti juga bahwa keberaksaraan (literasi, buku) memungkinkan terjadinya desentralisasi pengetahuan, sekaligus menumbuhkan sikap kesetaraan-kemanusiaan. Siapa saja punya kebebasan untuk datang, masuk, atau meninggalkan dunia perbukuan. Termasuk seleb. Bukankah seleb juga manusia?

—pernah tersurat di Suara Merdeka—

Artikel komputer

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger